Terlahir dengan nama Arjunawijaya, putra tunggal Prabu Kartawijaya ini, setelah menggantikan kedudukan ayahnya sebagai raja negara Maespati dikenal dengan Prabu Harjunasasrabahu. Gelar ini diberikan karena ketika ia bertiwikrama, wujudnya berubah menjadi brahala sewu – raksasa sebesar bukit, berkepala, seratus, bertangan seribu yang keseluruh tangannya memegang berbagai macam senjata sakti.
Tiwikrama menjadi brahala-sewu dilakukan oleh Prabu Arjuna Wijaya tatkala berperang melawan Bambang Sumantri, duta kepercayaannya dalam meminang putri Magada. Dewi Citrawati. Bambang Sumantri yang dengan kesaktiannya telah berhasil mengalahkan lebih dan seribu raja dari berbagai negara yang ingin memperebutkan Dewi Citrawati, hanya bersedia menyerahkan Dewi Citrawati apabila Prabu Arjuna Wijaya berhasil mengalahkan dirinya. Ini sesuai dengan tekad Bambang Sumantri sejak meninggalkan pertapaan Ardisekar, di mana ia hanya akan mengabdi pada raja yang akan mengalahkan kesaktiannya.
Arjuna Wijaya adalah satria titisan Bhatara Wisnu. merupakan raja besar yang disembah oleh sesama raja. Ia sakti mandraguna dan pilih tanding. Meskipun demikian, ia termasuk raja yang cinta damai, selalu berusaha menyelesaikan setiap persengketaan dengan musyawarah. Karena itulah wibawanya memancar keseluruh negeri dan negara-negara taklukannya. Selain gagah
perkasa, Prabu Arjuna Wijaya merupakan satria yang sangat tampan. Sepintas lalu, wajahnya mirip Bhatara Kamajaya . Cahaya yang keluar dart mukanya mengalahkan cahaya bintang, bahkan kadang-kadang seperti cahaya matahari di pagi atau senja hari. Merah merona penuh pencaran keemasan.
Ketika ia mendapat wangsit dari Bhatara Narada, kalau Dewi Citrawati, putri negeri Magada yang kini dalam pinangan raja raja lebih dari seribu negara merupakan titisan Bhatari Sri Widowati, hatinya menjadi gelisah. Mungkinkah, untuk mendapatkan Dewi Citrawati dan menyelamatkan negara Magada, ia harus berperang dan menumpas sekian banyak raja serta membunuh ribuan prajurit tak berdosa ?.
Seorang diri ia mampu melakukan hal itu. Tetapi tindakan itu bertentangan dengan hati nuraninya yang cinta damai Sementara menempuh perdamaian di negara Magada suatu hal yang sulit dilaksanakan, karena lebih dari seribu raja dari berbagai negara juga sangat menginginkan Dewi Citrawati sebagai istrinya.
Dari sekian banyak raja yang menginginkan Dewi Citrawati, Prabu Darmawisesa dari negeri Widarba, merupakan raja yang sangat berpengaruh dan ditakuti. Kini bersama lebih dari tujuh puluh lima raja sekutunya lengkap dengan ribuan prajuritnya, telah mengepung negara Magada dari berbagai penjuru. Tujuannya jelas. Bila lamarannya terhadap Dewi Citrawati ditolak, Prabu Darmawisesa akan merebutnya dengan kekerasan.
Tatkala Prabu Arjuna Wijaya dalam kebimbangan untuk menentukan sikap, datanglah Bambang Sumantri menghadap untuk mengabdikan diri di negara Maespati. Melihat kesungguhan hati dan kemantapan tekad Sumantri. Prabu Arjuna Wijaya menerima pengabdian Sumantri dengan satu persyaratan, Sumantri harus berhasil menjadi utusan pribadinya dan duta resmi Negara Maespati melamar dan memboyong Dewi Citrawati ke negara Maespati.
Persyaratan tersebut diterima oleh Bambang Sumantri. Dengan kesaktiannya. Sumantri akhirnya dapat menaklukan Prabu Darmawisesa dan sekalian para raja lainnya. memenuhi persyaratan pernikahan Dewi Citrawati berupa Putri Domas (800 orang), dan memboyong Dewi Citrawati dan Magada ke Maespati.
Namun sebelum memasuki kota negara Maespati, Bambang Sumantri mengajukan persyaratan kepada Prabu Arjuna Wijaya agar menjemput sendiri Dewi Citrawati di perbatasan kota dengan cara seorang satria, berhasil mengalahkan Sumantri dalam satu peperangan.
“Mohon Sri Paduka jangan salah mengerti akan sikap hamba, menduga yang tidak-tidak, terutama mengenai diri dan itikad hamba. Sedikitpun tak terbersit di hati hamba suatu niat atau keinginan untuk memperistri Tuan Puteri Dewi Citrawati, karena hamba sudah berprasetya sejak dulu untuk hidup sebagai satria pinandhita tidak akan menikah seumur hidupnya. Karena
itulah hamba tidak rela menyerahkan putri ulama seperti Dewi Citrawati secara begitu saja kepada Paduka, layaknya seorang raja taklukkan menyerahkan seorang putri sebagai upeti. hamba ingin Dewi Citrawati direbut dengan peperangan dasyat seorang raja. Hamba berharap peperangan ini akan meningkatkan pamor dan kewibawaan Paduka, bukan saja kepada Dewi Citrawati dan sekalian para putri yang berjumlah 800 orang, tetapi juga terhadap para raja dari lebih seribu negara yang kini berada di luar kota Maespati. Merekalah yang akan menjadi saksi sejarah keperkasaan dan kebesaran Paduka. Karena itulah hamba berharap perang tanding diantara kita harus berlangsung dahsyat dan hebat.”
Demikian isi surat Sumantri kepada Prabu Arjuna Wijaya, yang ditanggapi Prabu Arjuna Wijaya dengan kelapangan dada. Apa yang diinginkan Sumantri menjadi kenyataan. Perang maha dahsyat dan mengerikan terjadi antara Prabu Arjuna Wijaya melawan Sumantri di lapangan maha luas yang terbentang diantara pegunungan Salva dan Malawa, di luar kota negara Maespati. Para brahmana dan pujangga melukiskan, peperangan antara Prabu Arjuna Wijaya melawan Bambang Sumantri merupakan perang maha dahsyat dan maha mengerikan selama alam raya gumelar. Suasana perang ini lebih hebat dan lebih dahsyat daripada perangnya Kumbakarna melawan Prabu Sugriwa yang dibantu Hanoman dan jutaan laskar kera, atau perangnya Prabu Rama Wijaya melawan Prabu Rahwana dalam perang Alengka.Perang itu juga lebih dahsyat dan lebih mencekam dari pada perang tanding antara Arjuna melawan Adipati Karna atau perangnya Resi Bhisma melawan Resi Seta, atau perangnya Bima melawan Prabu Duryudana dalarn perang Bharatayudha, bahkan lebih dahsyat dari keseluruhan perang Bharatayudha itu sendiri.
Perang tanding antara Prabu Arjuna Wijaya melawan Bambang Sumantri juga terasa agung dan indah. Mereka tampil dengan pakaian kebesaran seorang senapati prajurit yang serba sama baik warna maupun bentuknya. Mereka juga menyandang gendewa perang lengkap dengan anak-anak panah saktinya. Bentuknya sama satu dengan lainnya, hanya warna tali selempang gandewa yang berbeda. Selempang gandewa Prabu Arjuna Wijaya berwarna merah, sedangkan selempang gandewa Bambang Sumantri berwarna kuning gading.
Mereka juga sama-sama menaiki kereta perang kadewatan yang masing-masing ditarik oleh empat ekor kuda. Prabu Arjuna Wijaya menaiki kereta perang milik Dewa Wisnu yang sengaja didatangkan dari Kahyangan Untarasegara, ditarik empat ekor kuda berbulu hitam dan putih. Sedangkan Bambang Sumantri menaiki kereta perang milik Prabu Citragada, yang ditarik empat ekor kuda berbulu merah dengan belang putih pada keempat kakinya. Kereta ini dahulu merupakan kereta perang kadewatan milik Bhatara Indra yang diberikan kepada Prabu Citradarma, raja negara Magada.
Tak ayal lagi, kedua kereta perang itu memiliki bentuk, kemewahan dan keagungan yang hampir sama. Perbedaannya hanya terletak pada pariji perang yang tertancap berkibar di bagian buritan kereta. Panji perang Prabu Arjuna Wijaya berwarna kuning emas dengan lambang burung garuda yang siap menerkam lawan, sedangkan panji perang Bambang Sumantri berwarna putih
dengan lambang ular naga tegak berdiri dengan mulut terbuka dan lidah bercabang menjulur ke luar siap mematuk lawan. Keagungan semakin nampak manakala kedua kereta perang mereka telah saling berhadapan. Mereka tak ubahnya Bhatara Asmara dan Bhatara Candra yang sedang saling berhadapan.
Kebesaran dan kedahsyatan perang tanding antara Prabu Arjuna Wijaya melawan Bambang Sumantri, selain karena arena peperangan yang demikian luas, jumlah serta mereka yang menyaksikan, juga kehebatan pameran kesaktian dan tata gelar perang yang mereka peragakan. Perang tanding itu berlangsung di sebuah padang tandus yang sangat luas, yang membentang antara pegunungan Salva dan Malawa. Disaksikan oleh Dewi Citrawati, wanita titis Bhatari Sri Widowati beserta 800 wanita pengiringnya (putri domas), ribuan dayang, lebih dari seribu raja dan permaisurinya, lengkap dengan para patihnya dan hulubalang kerajaan, ribuan rakyat Maespati, jutaan prajurit dari lebih seribu negara dan juga disaksikan oleh ratusan dewa dan hapsari dipimpin langsung oleh Bhatara Narada dan Bhatara Indra yang sengaja turun dari Kahyangan Jonggring Saloka dan Kahyangan Ekacakra.
Berbagai tata gelar perang juga diperagakan dalam perang tanding ini. Dari tata perkelahian tangan kosong, gelar perang keris, tombak dan trisula, juga tata gelar perang kereta disertai ketrampilan menguasai kuda dan kereta, serta kemahiran memainkan anak panah. Kelak mereka baru menyadari, bahwa apa yang diperagakan oleh Prabu Arjuna Wijaya dan Bambang Sumantri, sesungguhnya merupakan pelajaran tata gelar dan teknik peperangan maha tinggi yang hanya bisa diperagakan oleh Dewa Wisnu dan Dewa Surapati, yang tidak akan terulang lagi selama jagad raya gumelar.
Berbagai ilmu kesaktian dan senjata sakti diperagakan dan gumelar dalam perang tanding ini. Ketika senjata sakti panah Dadali milik Sumantri lepas dari busurnya dan begitu melesat di udara pecah menjadi ribuan anak panah dengan pamor berujud bara api menyala merah, Prabu Arjuna Wijaya segera melepaskan senjata sakti panah Tritusta. Begitu lepas dari busurnya, panah
tersebut pecah menjadi ribuan anak panah yang pamornya memancarkan cahaya keputihan.
Ribuan anak panah dari kedua belah pihak itu saling bertempur dahsyat di udara, tak ubahnya orang yang sedang berperang. Saling tangkis, saling menyambar dan saling mengejar serta saling menyerang. Benturan keras kedua senjata itu menimbulkan desis suara yang melengking, memekakkan telinga.
Melihat pertempuran ribuan anak panah yang tiada akhir itu, Prabu Arjuna Wijaya segera melepaskan panah angin, yang begitu melesat di udara menimbulkan angin besar yang menyapu habis sernua anak panah tersebut. Menghadapi kenyataan itu, Sumantri segera melepaskan panah Bojanggapasa, yang begitu melesat ke udara memecah menjadi jutaan ular naga yang memenuhi arena pertempuran. Untuk mengetahui keampuhan pusaka lawan, Prabu Arjuna Wijaya segera melepas panah sakti Paksijaladra. Seketika di udara muncul jutaan burung garuda, terbang menukik menyambar ular-ular naga ciptaan Sumantri.
Akhir dari perang tanding tersebut, memberi pengaruh sangat besar bagi Prabu Arjunasasrabahu. Kini yakinlah semua orang, bahwa ia seorang raja penjelmaan Dewa Wisnu. la dikenal sebagai raja maha sakti dan kewibawaannya memancar ke seantero jagad raya. Para raja yang sejak semula sudah tunduk dan bersekutu dengan kerajaan Maespati, kini semakin menghormatinya.
Sementara para raja yang dahulunya ragu untuk tunduk dan bersatu, kini dengan sukarela menyatakan bernaung dibawah panji kebesaran negara Maespati.
Di bawah pemerintahan Prabu Arjunasasrabahu dengan patihnya Suwanda, Maespati berkembang menjadi negara adikuasa yang rnenguasai hampir dua-pertiga jagad raya Meski demikian, Prabu Arjunawijaya tetap memerintah dengan sikap yang adil dan arif bijaksana. Prabu Arjunasasrabahu dikenal sebagai raja yang cinta damai dan selalu berusaha menyelesaikan perselisihan dengan negara tetangga secara musyawarah. Dialah raja yang melaksanakan prinsip dan semboyan perdamaian ; Sugih tanpo bondo, ngruruk tanpo bolo, Menang tanpo angasorake. (kaya tanpa harta benda, menyerang tanpa prajurit, menang tanpa merasa mengalahkan).
Prabu Arjunasasrabahu adalah Maharaja terbesar yang pernah ada di jagad raya. la tidak hanya memerintah hampir duapertiga luas jagad raya dan membawahi lebih dari dua ribu raja dari berbagai negara, tetapi ia juga seorang raja yang hidup dengan seorang permaisuri, Dewi Citrawati, dan lebih dari 800 orang selir. Karena itu tak mengherankan apabila sebagian besar penghuni istana Maespati adalah wanita-wanita cantik, sehingga keadaan taman keputrian istana Maespati tak ubahnya kahyangan Ekacakra, tempat para bidadari.
Prabu Arjunasasrabahu adalah raja yang sangat mencintai dan memanjakan istri-istrinya, terutama permaisuri Dewi Citrawati. Apa saja yang menjadi keinginan Dewi Citrawati selalu berusaha untuk dipenuhinya.
Suatu ketika Dewi Citrawati menyampaikan satu keinginan yang rasanya mustahil dapat terpenuhi oleh manusia lumrah di Marcapada. Bahkan Dewapun belum tentu kuasa untuk memenuhi keinginannya tersebut. Dewi Citrawati ingin mandi bersama 800 orang selirnya di sebuah sungai atau danau. Keinginan yang aneh inipun berusaha di penuhi oleh Prabu Arjunasasrabahu.
Dengan disertai Patih Suwanda, dan dikawal beberapa ratus orang prajurit, Prabu Arjunasasrabahu membawa Dewi Citrawati dan 800 orang selirnya lengkap dengan para dayangnya masing-masing meninggalkan istana Maespati pergi kesebuah dataran rendah antara pegunungan Salva dan Malawa, dimana ditengahnya mengalir sebuah sungai.
“Dinda Patih Suwanda, aku akan bertiwikrama tidur melintang membendung aliran sungai agar tercipta danau buatan untuk tempat mandi dan bercengkrama dinda Dewi Citrawati dan para selir. Selama aku tidur bertiwikrama, keselamatan dinda Citrawati dan para garwa ampil, sepenuhnya aku serahkan pada dinda Patih Suwanda.” kata Prabu Arjunasasrabahu kepada patih Suwanda.
Prabu Arjunasasrabahu kemudian bertiwikrama, tidur melintang membendung aliran sungai. Dengan tubuh sebesar bukit dengan panjang hampir mencapai 500 meter, dalam waktu tidak terlalu lama, lembah antara pegunungan Salva dan Malawa berubah menjadi sebuah danau buatan yang sangat luas. Dengan suka cita Dewi Citrawati terjun kedalam air, diikuti oleh para selir dan para dayang. Mereka berenang kesana-kemari, bercanda, bersuka cita penuh kegembiraan dan gelak tawa. Hampir semua prajurit yang menyaksikan hal itu, menelan air hur dan tubuh prungsang menahan hawa nafsu menyaksikan seribu lebih wanita cantik bertubuh seksi dalam keadaan polos tumplek uyel (menyatu saling bergerak tak karuan) di dalam air yang jernih, dengan berbagai tingkah polah yang lucu-lucu dan aneh-aneh. Hanya Patih Suwanda yang bersikap tenang dan dapat mengendalikan dirinya.
Luapan air sungai yang terbendung semakin lama semakin meninggi, meluas melebar menggenangi perbukitan dan daerah sekitarnya. Mengalir deras ke daratan yang lebih rendah, laksana air bah melanda persawahan dan perbukitan. Kejadian ini sama sekali tak disadari oleh Prabu Arjunasasrabahu, karena ia dalam keadaan tidur berTiwikrama.
Sementara itu diantara kedua betis raksasa jelmaan Prabu Arjunasasrabahu muncul daerah kering. Di tempat itulah dibuat pesanggrahan mewah semacam istana sebagai tempat tinggal Dewi Citrawati dan para selir berikut dayang-dayangnya. Adapun Patih Suwanda, beberapa para raja dan prajurit Maespati membuat pesanggrahan di luar betis yang melintang itu. Banyak sekali ikan-ikan yang menggelepar di tanah kering atau kubangan sisa-sisa air. Hal mi sangat menggembirakan para putri domas dan para dayang, yang saling berebut menangkap ikan sambil bercanda. Macam-macam ulah para putri domas itu. Ada yang menaruh ikannya pada kain kembennya dengan cara dibungkus, tapi ada pula yang dengan seenaknya diselipkan di lengkang dadanya. Manakala ikan-ikan itu bergerak-gerak, ia akan tertawa geli penuh suka cita.
Tak terduga luapan air bengawan yang berbalik arah ke arah hulu, melanda lembah dan perbukitan, melanda pula daerah perbukitan Janakya di wilayah negara Sakya, dimana Rahwana, raja Alengka beserta para hulubalangnya sedang membangun pesanggrahan. Dalam sekejap, bangunan pesanggrahan Rahwana ludes dilanda air bah. Rahwana dan para hulubalangnya yang bisa
terbang, segera terbang menyelamatkan diri ke puncak gunung, diikuti oleh para raksasa pengikutnya berlari-lari cepat mendaki bukit yang lebih tinggi. Namun banyak pula diantara para raksasa yang tidak sempat menyelamatkan diri, mati hanyut dilanda air bah.
Kejadian tersebut menimbulkan kemarahan Rahwana. la segera menyuruh Detya Kala Marica, abdi kepercayaarmya yang ahli dalam telik sandi untuk melakukan penyelidikan. Dalam waktu singkat Kala Marica telah kembali menghadap Rahwana, melaporkan hasil penyelidikannya. Dilaporkan oleh Detya Kala Marica, bahwa yang menyebabkan meluapnya aliran sungai dan menghancurkan pesanggrahan adalah akibat ulah Prabu Arjunasasrabahu, raja negara Maespati, yang tidur melintang di muara sungai. “Beliau sedang melakukan Tiwikrama. Tubuhnya berubah menjadi raksasa sebesar dan setinggi seratus bukit. Itulah mengapa air sungai terbendung dan berbalik arah melanda perbukitan.” kata Kala Marica. “Hemmm.. siapa itu Arjunasasrabahu, paman ?” tanya Rahwana.
0 comments:
Post a Comment